Cara Ulama Khalaf Memperlakukan Teks Sifat
BincangSyariah.Com– Pada penjelasan sebelumnya telah dijelaskan bagaimana ulama salaf (ulama tiga abad pertama) secara umum memahami teks sifat dengan cara tafwidh. Mereka tidak menentukan makna apa pun bagi teks tersebut melainkan hanya mengimani lafaznya dan mengambil makna kontekstual yang dapat dipahami dari teks sifat tersebut.
Namun demikian, ulama khalaf (ulama pasca tiga abad pertama) secara umum menempuh metode yang berbeda. Mereka tidak membiarkan teks sifat tanpa makna apa pun melainkan memilih salah satu makna yang layak bagi Allah dan juga didukung oleh kaidah dalam bahasa Arab. Langkah ulama khalaf ini disebut sebagai takwil (menentukan makna spesifik yang layak).
Perbedaan sikap antara salaf dan khalaf ini dinyatakan oleh Imam Nawawi sebagai berikut:
اعلم أن لأهل العلم في أحاديث الصفات وآيات الصفات قولين أحدهما وهو مذهب معظم السلف أو كلهم أنه لا يتكلم في معناها بل يقولون يجب علينا أن نؤمن بها ونعتقد لها معنى يليق بجلال الله تعالى وعظمته مع اعتقادنا الجازم أن الله تعالى ليس كمثله شيء وأنه منزه عن التجسم والانتقال والتحيز في جهة وعن سائر صفات المخلوق وهذا القول هو مذهب جماعة من المتكلمين واختاره جماعة من محققيهم وهو أسلم والقول الثاني وهو مذهب معظم المتكلمين أنها تتأول على مايليق بها على حسب مواقعها
“Ketahuilah bahwa ahli ilmu mempunyai dua pendapat tentang hadits-hadits dan ayat-ayat sifat:
Salah satunya adalah pendapat mayoritas ulama salaf atau bahkan seluruhnya bahwasanya maknanya tidak boleh diperbincangkan tetapi wajib bagi kita untuk mengimani dan meyakini makna yang layak bagi keagungan Allah Ta’ala dan kebesarannya serta dengan keyakinan yang mantap bahwa tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah dan bahwa Allah disucikan dari sifat jism (bentuk fisik), pergerakan, batasan arah serta seluruh sifat-sifat makhluk.
Pendapat ini adalah tahap sebagian ahli Kalam dan juga dipilih oleh ahli tahqîq dari mereka dan ini adalah yang paling selamat. Pendapat kedua yaitu pendapat sebagian besar ahli kalam bahwa sifat-sifat tersebut ditakwil sesuai makna yang layak bagi Allah sesuai dengan konteksnya masing-masing.” (Imam al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘ala Muslim, III, 19).
Jadi, semisal dihadapkan dengan teks seperti استوى على العرش, maka ulama salaf tidak memaknai kata istawa tersebut dan membiarkannya menjadi Allah istawa atas Arasy. Akan tetapi ulama khalaf menempuh jalan yang berbeda, mereka memaknainya dengan makna “menguasai” atau “mengatur”.
Jadi frasa “istawa atas arasy” tidak lagi kosong dari makna spesifik tetapi dipilihkan makna yang layak bagi Allah, yakni makna menguasai atau mengatur Arasy yang notabene simbol dari penguasaan mutlak terhadap seluruh alam semesta sebab Arasy adalah makhluk yang terbesar.
Menakwil istawa sebagai menguasai adalah benar secara akidah sebab semua muslim sepakat bahwa Allah menguasai seluruh alam semesta, selain itu takwilan ini juga mempunyai dasar dari segi bahasa Arab sebab mereka terbiasa memakai kata istawa ini dalam konteks penguasaan sebagaimana dalam sebuah syair Arab generasi awal:
قَدِ اسْتَوى بِشْرٌ عَلَى العِرَاقِ… مِنْ غَيْرِ سَيْفٍ وَدَمٍ مُهْرَاقٍ
“Bisyr telah benar-benar berkuasa atas Iraq, tanpa pedang dan darah yang ditumpahkan”
Yang menjadi pertanyaan banyak orang, mengapa ulama khalaf menempuh jalan yang berbeda dari salaf? Apakah mereka berniat tidak mengikuti salaf dalam hal ini? Jawaban atas pertanyaan ini diterangkan oleh Imam Ibnu Hajar berikut ini:
قَالَ ابنُ حَجَرٍ: أَكْثَرُ السَّلَفِ لِعَدَمِ ظُهُورِ أَهْلِ الْبِدَعِ فِي أَزْمِنَتِهِمْ يُفَوِّضُونَ عِلْمَهَا إِلَى اللَّهِ تَعَالَى مَعَ تَنْزِيهِهِ سُبْحَانَهُ عَنْ ظَاهِرِهَا الَّذِي لَا يَلِيقُ بِجَلَالِ ذَاتِهِ، وَأَكْثَرُ الْخَلَفِ يُؤَوِّلُونَهَا بِحَمْلِهَا عَلَى مَحَالٍّ تَلِيقُ بِذَلِكَ الْجَلَالِ الْأَقْدَسِ، وَالْكَمَالِ الْأَنْفَسِ لِاضْطِرَارِهِمْ إِلَى ذَلِكَ لِكَثْرَةِ أَهْلِ الزَّيْغِ وَالْبِدَعِ فِي أَزْمِنَتِهِمْ، وَمِنْ ثَمَّ قَالَ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ: لَوْ بَقِيَ النَّاسُ عَلَى مَا كَانُوا عَلَيْهِ لَمْ نُؤْمَرْ بِالِاشْتِغَالِ بِعِلْمِ الْكَلَامِ، وَأَمَّا الْآنَ فَقَدْ كَثُرَتِ الْبِدَعُ فَلَا سَبِيلَ إِلَى تَرْكِ أَمْوَاجِ الْفِتَنِ تَلْتَطِمُ
“Ibnu Hajar berkata, “Sebab kebanyakan bid’ah tidak tampak pada zaman mereka, sebagian besar Salaf memasrahkan pengetahuan tentang makna teks sifat kepada Allah Ta’ala dengan disertai menyucikan Allah Ta’ala dari makna zahir yang tidak pantas dengan keagungan-Nya.
Sebaliknya, sebagian besar khalaf menakwilkannya dengan membawanya ke dalam konteks yang lebih layak dengan keagungan dan kesempurnaan yang lebih tinggi, karena mereka terpaksa melakukan itu karena banyaknya orang-orang yang menyimpang dan bid’ah pada zamannya.
Oleh karena itu, Imam Al-Haramain berkata: “Jika orang-orang tetap pada kondisi sebelumnya [seperti zaman salaf], kami tidak akan diperintahkan untuk memusatkan perhatian pada ilmu kalam. Namun, sekarang banyak bid’ah, jadi tidak ada jalan lain kecuali menghindari gelombang fitnah yang datang.” (Mulla Ali al-Qari, Mirqat al-Mafatih, I, 162)
Senada dengannya, Syaikh Mulla Ali al-Qari juga menegaskan:
وَلَمْ يُرِيدُوا بِذَلِكَ مُخَالَفَةَ السَّلَفِ الصَّالِحِ، مَعَاذَ اللَّهِ أَنْ يُظَنَّ بِهِمْ ذَلِكَ، وَإِنَّمَا دَعَتِ الضَّرُورَةُ فِي أَزْمِنَتِهِمْ لِذَلِكَ ; لِكَثْرَةِ الْمُجَسِّمَةِ وَالْجَهْمِيَّةِ وَغَيْرِهَا مِنْ فِرَقِ الضَّلَالَةِ، وَاسْتِيلَائِهِمْ عَلَى عُقُولِ الْعَامَّةِ، فَقَصَدُوا بِذَلِكَ رَدْعَهُمْ وَبُطْلَانَ قَوْلِهِمْ
Mereka tidak bermaksud untuk menyelisihi para salafus shalih, semoga Allah melindungi kita dari dugaan tersebut. Namun, keadaan darurat pada masa itu memerlukan takwil tersebut karena banyaknya kelompok-kelompok sesat seperti kaum mujassimah, jahmiyah, dan kelompok sesat lainnya yang mempengaruhi pikiran orang awam. Oleh karena itu, ulama Khalaf bermaksud untuk menolak dan membantah pandangan mereka. (Mulla Ali al-Qari, Mirqat al-Mafatih, III, 924)
Jadi, faktor peralihan pilihan para ulama dari semula tafwidh menjadi takwil adalah keterpaksaan untuk menolak pemahaman Ahli bid’ah semisal mujassimah yang mendoktrin bahwa Allah adalah sosok fisikal yang mempunyai badan dengan organ-organ yang beragam seperti wajah, tangan, kaki dan seterusnya.
Untuk melindungi masyarakat dari pemahaman semacam itu, maka teks-teks sifat dimaknai dengan makna yang dapat diterima dari segi bahasa Arab dan tentunya tidak melanggar kaidah akidah. Namun demikian, sebetulnya antara tafwidh dan takwil tidaklah bertentangan sebab keduanya adalah wujud pemalingan makna dari makna leksikal yang ada. Imam Ibnu Hajar menjelaskan:
وَالْحَاصِلُ أَنَّ السَّلَفَ، وَالْخَلَفَ مُؤَوِّلُونَ لِإِجْمَاعِهِمْ عَلَى صَرْفِ اللَّفْظِ عَنْ ظَاهِرِهِ، وَلَكِنَّ تَأْوِيلَ السَّلَفِ إِجْمَالِيٌّ لِتَفْوِيضِهِمْ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى، وَتَأْوِيلَ الْخَلَفِ تَفْصِيلِيٌّ لِاضْطِرَارِهِمْ إِلَيْهِ لِكَثْرَةِ الْمُبْتَدِعِينَ
“Intinya adalah bahwa Salaf dan Khalaf seluruhnya menakwilkan sebab mereka sepakat untuk memalingkan makna dari makna leksikalnya. Akan tetapi takwil Salaf bersifat umum karena mereka memasrahkannya kepada Allah Ta’ala, sedangkan takwil Khalaf bersifat rinci karena mereka terpaksa melakukannya karena banyaknya ahli bid’ah.” (Mulla Ali al-Qari, Mirqat al-Mafatih, I, 162)
Jadi, perbedaan inti dari kubu salaf dan khalaf sejatinya adalah persoalan teknis semata. Salaf menolak memberlakukan makna leksikal lalu tidak memaknainya dengan makna apa pun, sedangkan khalaf menolak memberlakukan makna leksikal lalu memaknainya dengan makna yang dianggap aman dan layak.
Sebab itu, membahas makna spesifik sebagaimana dilakukan oleh ulama khalaf bukanlah inovasi yang tercela, bahkan merupakan inovasi yang baik seperti dijelaskan oleh Imam Izzuddin bin Abdissalam berikut:
ولَيْسَ الكَلام فِي هَذا بِدعَة قبيحة وإنَّما الكَلام فِيهِ بِدعَة حَسَنَة واجِبَة لما ظَهرت الشُّبْهَة وإنَّما سكت السّلف عَن الكَلام فِيهِ إذْ لم يكن فِي عصرهم من يحمل كَلام الله وكَلام رَسُوله على مالا يجوز حمله
“Membahas takwilannya dalam hal bukanlah inovasi yang buruk melainkan inonasi yang baik bahkan wajib tatkala munculnya kerancuan. Salaf mendiamkan pembahasan ini sebab saat itu di masa mereka tidak ada orang yang membawa kalamullah dan hadis rasulullah pada makna yang terlarang.” (Badruddin Ibnu Jama’ah, Idah al-Dalil Fi Qath’i Hujaj Ahli al-Ta’thil, 24)
Terkait
Desain Rumah Kabin
Rumah Kabin Kontena
Harga Rumah Kabin
Kos Rumah Kontena
Rumah Kabin 2 Tingkat
Rumah Kabin Panas
Rumah Kabin Murah
Sewa Rumah Kabin
Heavy Duty Cabin
Light Duty Cabin
Source link